Bagi-bagi Pengalaman

PEDAGOGIK OLAHRAGA (Rusli Lutan)

PEDAGOGIK OLAHRAGA
Rusli Lutan
Abstraksi
Pedagogi Olahraga (Sport pedagogy) adalah sebuah disiplin ilmu keolahragaan yang berpotensi untuk mengintegrasikan subdsiiplin ilmu keolahragaan lainnya untuk melandasi semua praktik dalam bidang keolahragaan Yang mengandung maksud dan tujuan untuk mendidik.

Pendahuluan
Kajian ruang lingkup sport pedagogy istilah lazim dan disepakati di tingkat internasional memang tidak lepas dari pemahaman kita terhadap eksistensi ilmu keolahragaan (sport science). Dari perspektif sejarah, di Indonesia, status dari pengakuan terhadap ilmu keolahragaan tergolong sangat muda baik ditinjau dari tradisi dan paradigma penelitian maupun produk riset Yang dapat diandalkan untuk melandasi tataran praksis. Akademi Pendidikan Jasmani yang didirikan di Bandung pada tahun 1950, di bawah naungan Universitas Indonesia. merupakan cikal bakal dari lembaga yang mengemban misi, terutama untuk penyiapan tenaga guru yang berkualitas pendidikan tinggi di bidang pendidikan jasmani.
Meskipun paparan dalam tulisan ini di sana sini menyinggung uraian tentang pedagogi olahraga dari aspek perkembangannya, tetapi risalah ini lebih diarahkan pada pengenalan batang tubuh pedagogi olahraga itu sendiri yang dipahami sebagai medan penelitian, sekaligus pengembangan; ilmu yang melandasi semua upaya yang mengandung intensi yang bersifat mendidik, Itulah sebabnya, pedagogi olahraga memiliki peluang pengembangan dan penerapan, tidak hanya dalam lingkup penyelenggaraan pendidikan jasmani dan olahraga di sekolah atau lembaga formal, tetapi juga di luar persekolahan seperti di perkumpulan olahraga, terutama di klub-klub pembinaan olahraga usia dini.
Sangat banyak “sisi gelap” atau ekses negatif kegiatan beolahraga, dan bahkan terbuka kesempatan luas bagi guru pendidikan jasmani atau pelatih untuk menimbulkan kerusakan secara sistematis dan bersifat akumulatif pada peserta didik sebagai akibat semua tindakannya dan perlakuannya tidak memiliki landasan ilmiah. Landasan keilmuan di bidang olahraga ini dibutuhkan selain bermanfaat untuk mencegah tindakan praktik yang membahayakan masa depan peserta didik, tentu yang tak kalah pentingnya ialah agar keseluruhan upaya pembinaan itu dapat dipertanggung jawabkan secara etika profesional.
Kukuhnya landasan ilmiah bagi segenap upaya kependidikan dalam olahraga menuntun ke arah efisiensi proses dan efektivitas pencapaian tujuan yang diharapkan. Hanya dengan landasan ilmiah yang kukuh baru akan terjamin prinsip akuntabilitas dalam pendidikan jasmani dan olahraga, dan atas dasar itu pula para pendidik di bidang olahraga dapat mempertangggung jawabkan upaya pembinaannya secara terbuka ke masyarakat.

Perspektif Sejarah
Kerangka ilmu keolahragaan itu sendiri di Indonesia, secara gamlang, mulai dikenal melalui kontak dengan para ahli dari Jerman Barat pada tahun 1975, tatkala diselenggarakan lokakarya internasional tentang Sport Science. Hasil lokakarya berdampak kuat pada pengembangan kurikulum Sekolah Tinggi Olahraga meskipun masih amat sesak muatannya dengan pengetahuan tentang isi (content knowledge). Beberapa sub disiplin ilmu keolahragaan (misalnya, biomekanika olahraga, filsafat olahraga, fisiologi olahraga) dalam nuansa sendiri-sendiri (multidiscipline) mulai dikembangkan yang di dukung oleh ilmu-ilmu pengantar lainnya dalam pendidikan (misalnya, psikologi pertumbuhan dan perkembangan) dan ilmu sosial lainnya (misalnya, sosiologi dan anthroplogi) yang dip perlu dikuasai oleh para calon guru, pelatih, dan pembina olahraga di bidang rekreasi.
Medan layanan jasa mulai diidentifikasi meskipun masih amat bersifat umum, belum terinci, yang berlaku sampai sekarang, seperti tercantum dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional, meliputi olahraga pendidikan (pendidikan jasmani), olahraga rekreasi, dan olahraga kompetitif, sehingga penyiapan ketenagaan ditampung pada tip jurusan yang sampai sekarang masih berlaku di Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), yakni Jurusan Pendidikan Olahraga, Jurusan Kepelatihan Olahraga, dan Jurusan Pendidikan Rekreasi dan Kesehatan.
Setelah terjadi perluasan mandat yang disusul dengan konversi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) menjadi universitas, FPOK di IKIP lainnya di beberapa kota di Indonesia berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Keolahragaan, sementara, FPOK di Bandung tetap tidak berubah nama, yang didorong oleh motif untuk mempertahankan misi kependidikan melalui olahraga di Indonesia yang dirasakan sangat penting untuk dikembangkan. Hanya sedikit perubahan di FPOK UPI Bandung, yaitu dibukanya program Ilmu Keolahragaan (IKOR) dengan isi kurikulum yang sarat dengan subdisiplin ilmu keolahragaan. Beberapa tahun sebelumnya, terutama setelah saya pulang dari State University of New York di Albany (SUNY), AS, mata kuliah pedagogi olahraga (sport pedagogy) mulai dikembangkan, termasuk pula mata kuliah teori belajar motorik dengan pendekatan motor control yang sebelumnya lebih menekankan pendekatan psikologi, terutama teori-teori belajar umum yang dikenal dalam bidang pendidikan.
Sejak terjadi konversi IKIP menjadi universitas pada tahun 1999 hingga sekarang, hanya sedikit kemajuan yang dicapai, jika tidak disebut mengalami kemandegan dari sisi pengembangan substansi keilmuannya sebagai akibat rendahnya kegiatan penelitian yang terkait dengan kelangkaan infrastruktur dan biaya pengembangan, di samping kurangnya tenaga dosen penekun sub‑sub disiplin ilmu keolahragaan. Filsafat olahraga (sport philosophy)dan sejarah olahraga (sport history) misalnya, yang dianggap penting sebagai landasan pemahaman tentang olahraga dan pengembangan kebijakan pembangunan olahraga, justru paling terlalaikan. Keadaan ini boleh jadi sebagai akibat khalayak masyarakat akademis di bidang keolahragaan larut dalam kegiatan pragmatis, meskipun tidak banyak tindakan yang dianggap cepat tanggap untuk menjawab tantangan berskala nasional di bidang keolahragaan.
Kondisi tersebut di atas menempatkan ilmu keolahragaan di Indonesia masih pada posisi “feri-feri”, sebagai “pengikut”, sementara pusat-pusat pengembangan ilmu keolahragaan di Eropa, terutama Pula di Amerika Utara tetap memainkan peranan sebagai “pusat”, yang pada gilirannya sungguh jelas memapankan teori ketergantungan dalam bidang olahraga. Publikasi para pakar olahraga Indonesia’ di tingkat internasional masih amat jarang muncul, seperti juga halnya pada tingkat nasional sekalipun, yang menyebabkan kita masih sebagai konsumen, bukan penghasil ilmu yang tekun. Keadaan ini berdampak pada pemanfaatan buku-buku rujukan yang hampir sepenuhnya bergantung pada terbitan luar negeri, terutama yang berbahasa Inggris dari Amerika Utara, melalui penerbit-penerbit kelas dunia (misalnya, penerbit Human Kinetics), sementara sumbersumber bacaan yang berbahasa lainnya, seperti yang berbahasa Jerman dan Rusia, yang umumnya juga tinggi mutunya, sangat jarang dijumpai atau dipakai dalam perkuliahan, yang disebabkan karena langka dalam hall kepemilikan termasuk penguasaan bahasanya. Persoalan hambatan ekses informasi dalam ilmu keolahragaan, sebenarnya sudah dapat diatasi melalui begitu banyak portal-portal dalam internet yang memuat banyak tulisan lepas, dan bahkan jurnal-jurnal dengan berlangganan.
Bagaimana membangun kemandirian dalam pengembangan olahraga sebenarnya telah dirintis selama era “revolusi olahraga” dalam rangka membangun “Indonesia Baru” yang pada dasarnya bertujuan untuk mematahkan hegemoni Barat, yang digelar dalam platform politik Bung Karno pada awal tahun 1960-an yang terarah pada pembangunan watak dan bangsa (character and nation building). Namun, konsep, dasar dari sisi filsafat tak banyak pengembangannya, dan penjabarannya pun tak sempat banyak dikerjakan, apalagi setelah kejatuhan Bung Karno pada tahun 1965-1966 karena seolah-otah konsep itu tabu untuk dibicarakan. Perubahan yang masih melekat hingga sekarang ialah istilah pendidikan jasmani pada tahun 1950-an berubah menjadi pendidikan olahraga, meskipun perubahan kembali ke asal telah berlangsung dalam wacana nasional dan kurikulum untuk mengikuti trend internasional yang lebih biasa berkomunikasi dalam istilah pendidikan jasmani (physical education).
Bung Karno, pada waktu itu, memahami tujuan berolahraga di Indonesia sedemikian khas, berbeda dengan paham Barat, karena sedemikian tajam penekanannya pada pencapaian tujuan nasional, tujuan revolusi, bukan untuk kepentingan pribadi olahragawan, sehingga generasi tahun 1960-an tetap ingat hingga sekarang tentang pentingnya pengabdian hidup bagi: negara dedication of life melalui olahraga.
Istilah olahraga, sebuah istilah yang bersifat generik, dipandang sangat mengena dalam pengertian, karena kata “olah”, selain sudah sangat biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti “mengolah lahan,” atau “mengolah makanan,” dalam konteks “raga” sebagai subyek, maka dipahami istilah olahraga itu tidak bermakna semata “mengolah” fisik, tetapi “man as whole”, atau manusia seutuhnya, sehingga dalam konteks ini istilah olahraga mengandung makna membina potensi, sekaligus pembentukan (forming). Prof. Riysdorp, selaku ketua ICHPER SD, dalam sambutannya ketika membuka konferensi internasional International Council on Health, Physical Education and Recreation Sport and Dance (ICHPER SD) tahun 1973 di Denpasar, Indonesia, secara ringkas memaknai istilah olahraga itu sangat mengena, dan beliau menegaskan, hal itu menunjukkan kepedulian bangsa Indonesia yang begitu mendalam terhadap olahraga dalam kontesks pendidikan.
Cukup banyak konvensi atau konferensi internasional yang berbobot yang menghasilkan deklarasi tentang pendidikan jasmani dan olahraga, misalnya, deklarasi UNESCO di Paris tahun 1978, tentang “Piagam Internasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga” yang dalam salah satu pasal menegaskan bahwa pendidikan jasmani dan olahraga merupakan hak asasi. Kongres dunia tentang pendidikan jasmani di Berlin, Jerman tahun 1999, bertema “krisis global pendidikan jasmani” sesungguhnya menyuarakan keprihatinan dunia akan status dan keterlaksanaan program pendidikan jasmani di sekolah-sekolah yang kian mengalami kemunduran berdasarkan beberapa indikator seperti dana yang sangat terbatas, status profesi dan keilmuan yang rendah, selain alokasi waktu untuk pendidikan jasmani dalam kurikulum kian berkurang jumlahnya. Kelangkaan infrastruktur untuk memberikan kesempatan berolahraga secara nyaman dan aman, terutama di negara berkembang merupakan sebuah krisis yang amat mendalam.
Keseluruhan upaya untuk membangun kesepakatan internasional itu didorong oleh kepentingan bersama bahwa pendidikan jasmani dan olahraga, jikalau dibina dengan baik, akan menghasilkan perubahan yang sangat berharga, dimulai dari perubahan tingkat mikro individual hingga kelompok masyarakat, dan bahkan nasional, yang tertuju pada peningkatan kualitas hidup yang baik.
Karena itu peningkatan pendidikan jasmani dan olahraga di sekolah atau di lembaga-lembaga pendidikan, tujuannya begitu erat guna meningkatkan kualitas pendidikan. Bahkan dalam konteks kepentingan dunia yang bersifat global misainya, pihak PBB sendiri memahami keselarasan tujuan yang dicapai melalui gerakan olimpiade untuk menciptakan dunia yang lebih baik dan damai. Penekanan program yang bersifat inkfusif, yang tertuju pada setiap orang, golongan, dan wilayah, terutama anak‑anak di daerah kantong-kantong kemiskinan, masuk ke dalam prioritas. Untuk ikut serta menjawab tantangan pencapaian tujuan pembangunan millennium (Millenium Development Goal, 2015), program pendidikan jasmani dan olahraga, melalui kampanye tingkat nasional dan internasional, juga diarahkan untuk memberikan andil.
Kesemua upaya itu memerlukan landasan ilmiah. Dalam kaitan ini, pada tahun 1983, International Council of Sport Science and Physical Education (ICSSPE) mengadopsi statuta yang berisi pernyataan tentang kepedulian terhadap ilmu keolahragaan. Di antaranya, dalam ayat I disebutkan peranan ICSSPE sebagai organisasi untuk mempromosi dan menyebarluaskan hasil dan temuan dalam ilmu keolaragaan dan penerapannya dalam konteks budaya dan pendidikan. Analisis yang dilakukan oleh Kirsch (1990) tentang pelaksanaan dan substansi kongres ilmiah di Olimpiade sejak 1909 di Paris hingga 1992 di Malaga (Spanyol) dapat dipakai sebagai parameter dari dimensi sejarah tentang perkembangan tema‑tema ilmu keolahragaan.
Seperti pertanyaan yang juga sering muncul di Indonesia, di Amerika Serikat, Henry (1970, 1980) pernah menulis: manakala disiplin akademik pendidikan jasmani belum eksis, disiplin akademik tersebut perlu ditemukan. Namun pertanyaan yang berkepanjangan, apakah pendidikan jasmani atau olahraga dapat. dikembangkan sebagai sebuah disiplin ilmu? Apa objek formal penelitiannya, dan apa metode yang tepat untuk digunakan. Abernathy dari Waltz (1964) melihat fungsi sentral pendidikan jasmani sebagai sebuah disiplin akademik dalarn mengkaji gerak insani di bawah kategori keterbatasan gerak, pengalaman gerak, struktur kepribadian, persepsi, dan lingkungan sosio‑kultural.
Karena objek kajiannya yang unik yang melibatkan fenomena sosiopsikobio-kultural, maka pembangunan teori di bidang keolahragaan menjadi amat luas dan menggiring upaya ke arah pendekatan lintas disiplin. Fenomena belajar keterampilan olahraga misalnya sungguh melibatkan aspek nourofisiologis dan psikologis secara simultan yang tidak terlepas dari konteks sosial budaya walaupun tetap mungkin dianalisis secara sendiri-sendiri sesuai dengan tema-tema pokok yang, membangun kerangka teoritis yang mencakup substansi pengetahuan yang disampaikan. karakteristik peserta didik, konteks, dan assessmen.

Medan Penelitian
Dari perspektif sosiologis, olahraga dipandang sebagai bagian dari budaya, dan karena itu masyarakatlah yang membentuknya sebagai bagian dari hidupnya. Itulah sebabnya. dari waktu ke waktu definisi olahraga berubah sesuai dengan persepsi kelompok masyarakat. Misalnya, definisi olahraga yang disepakati pada era tahun 1960‑an lebih diwarnai oleh nuansa upaya perjuangan melawan unsur alam atau diri sendiri”. Seiring dengan gerakan olahraga yang bersifat inklusif, “Sport for All” sejak tahun 1972 di Eropa, Europe Council sepakat untuk mengartikan olahraga sebagai “aktivitas spontan, bebas dan dilaksanakan pada waktu luang.”
Dengan kata lain, olahraga mencakup pengertian yang luas bukan hanya olahraga kompetitif yang berisi kegiatan perlombaan atau pertandingan untuk memperagakan prestasi yang optimal, tetapi juga kegiatan jasmani pada waktu senggang sebagai pelepas telah, misalnya untuk tujuan pembinaan kebugaran jasmani. Definisi semacam ini terangkum dalam paparan Herbert Haag (1986) yang menyatakan bahwa olahraga tidak diartikan dalam lingkup sempit, olahraga kompetifif, tetapi maknanya adalah mencakup kegiatan jasmani, baik formal maupun informal sifatnya, dari bahkan juga dalam bentuk kegiatan fundamental seperti pembinaan kebugaran jasmani.
Menghadapi kenyataan bahwa olahraga itu sangat kompleks, pakar Olahraga di Indonesia telah mencoba untuk menggolongkannya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai ’sehingga dikenal olahraga pendidikan (pendidikan jasmani) yang menekankan aspek kependidikan, olahraga rekreasi untuk tujuan yang bersifat rekreatif, olahraga kompetitif untuk tujuan mencapai prestasi. Jenis dan bentuk olahraga berkembang sesuai dengan motif kelompok masyarakat pelakunya.
Meskipun amat beragam bentuk dan jenisnya, tetapi masih dapat diidentifikasi persamaan umum yang menunjukkan ciri khas, atau “inner horizon” olahraga. Sisi bagian dalam olahraga, memimjam istilah Husserl (1972), merupakan medan penelaahan dari objek formal pengembangan ilmu keolahragaan. Namun kemudian, intinya yang paling hakiki ialah fenomena gerak yang ditampilkan dalam suasana bermain (play), sehingga kriteria penilaian tertuju pada adanya faktor kebebasan dan kesengajaan secara sadar untuk melaksanakannya. Dengan kata lain fenomena gerak itu didasarkan pada kesadaran manusia untuk menggerakkan dirinya. Dalam kaitan itu maka esensi lainnya dari olahraga ialah tindakan yang mengandung unsur kesukariaan (joy) dan kebabagiaan. Keseluruhan ciri yang disebutkan tadi menempatkan hakikat olahraga sebagai subsistem bermain.
Persoalannya tidak berbenti sampai di situ. Dunia olahraga tentu berbeda banyak dengan dunia bermain atau berbeda pula dengan kegiatan permainan yang mengandung unsur kebetulan (misalnya, permainan domino) atau permainan yang lebih banyak mengandalkan kemampuan intelektual (misalnya, catur). Gambaran yang lebih spesifik pada olahraga menekankan aspek gerak insani (human movement) sebagai unsur utama sebagai kegiatan yang nyata dan berkecenderungan untuk menampilkan performa.
Orientasi fisikal, seperti yang tampak pada kegiatan olahraga merupakkan ciri yang utama, sehingga di dalamnya terlibat unsur gerak yang melibatkan daya tahan, kecepatan, kekuatan, power, dan keterampilan (skill) itu sendiri. Kegiatan olahraga. selalu menampakkan diri dalam ujud nyata kehadiran fisik, peragaan diri secara sadar bertujuan disertai dengan penggunaan alat‑alat konkret seperti bola, raket dan bentuk lainnya.
Perwujudan gerak itu terkait dengan aspek dorongan pada manusia yang terkait dengan faktor sosial dan budaya, pengaruh suasana kejiwaan, emosi dan motif. Pelaksanaan olahraga selalu melibatkan keterampilan yang dipelajari yang dapat dilakukan hanya melalui proses ajar, yang dalam pelaksanaannya melibatkan suasana van yang menjalin hubungan sosial. Karena itu di dalam proses itu ada unsur pendidik dan peserta didik bahkan juga ada unsur persaingan untuk menunjukkan ketangkasan atau kelebihan pribadi.
Perilaku olahraga itu juga sering digambarkan sebagai sesuatu yang riil, bukan bersifat artifisial yang dirancang dalam lakon-lakon bertema (misalnya, dalam gulat professional “Smackdown” yang sering disebut olahraga sirkus), Kegiatan yang dilaksanakan oleh seorang olahragawan atau atlet tidak samata-mata terpaku pada pokok peranan yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan tugas gerak berupa teknik-teknik dasar. Yang terjadi ialah seseorang, bersama yang lain, memainkan sebuah permainan yang benar-benar nyata, tidak berpura-pura dalam semangat kesungguhan yang menyerap seluruh perhatian. Karena itu di dalamnya ada kesungguhan, bukan kepura-puraan, dan bahkan ada unsur kejutan, sehingga praktik “main sabun” dalam sepakbola misalnya, yang skornya sudah ditentukan sungguh dianggap sebagai tindakan sadar menghancurkan ciri permainan yang amat bertentangan dengan ciri olahraga.
Pada kebanyakan kegiatan olahraga maka prinsip performa dan prestasi begitu menonjol. Di dalamnya ada ketegangan karena melibatkan pengerahan tenaga yang melibatkan nuansa kejutan dan bahkan keberuntungan, sehingga hasil yang dicapai sukar diprediksi. Dalam kaitan ini maka prestasi yang meskipun diperagakan melalui faktor jasmaniah, tetapi pada dasarnya melibatkan diri manusia secara utuh. Kegiatan olahraga dilaksanakan secara suka rela, dan tertuju pada pengembangan diri.
Struktur Ilmu Keolahragaan
Kerangka dasar ilmu keolahragaan yang disusun berdasarkan kemajuan yang dianggap cukup mapan, seperti yang dipaparkan Prof. Haag di Jerman sejak tahun 1979, sangat membantu kita untuk menelaah kedudukan sport pedagogy. sebagai Salah Satu di antaranya, sebagai isi dari ilmu keolahragaan.
Ketujuh bidang teori yang dimaksud meliputi sport medicine, sport biomechanic, sport psychology, sport sociology, sport pedagogy, sport history dan sport philosophy. Masing-masing bidang memiliki medan penelitian yang spesifik pula. Urutan ketujuh bidang teori tersebut dipaparkan dalam pengelompokkan yang dianggap logis. Sport medicine dan sport biomechanic olahraga masuk ke dalam kelompok ilmu pengetahuan alam, sementara spot psychology, sport sociology dari sport pedagogy tergolong ke dalam rumpun ilmu pengetahuan sosial dari behavioral. Sport history dan Sport philosophy termasuk ke dalam kelompok hermeneutical normative science. Paparan tersebut juga Menunjukkan bahwa “ibu” ilmu pengetahuan yang menjadi landasan pengembangan ilmu keolahragaan ialah medicine, biologi/fisika, psikologi, sosiologi, pedagogi, sejarah dari filsafat.
Model pengelompokkannya tergambar dalam sebuah kontinuum, dari IPA ke humaniora, atau secara metodologis, dari analitis mpiris ke hermenetik eoretis, atau dari yang konkret ke abstrak.
Sejak tahun 1980, sesuai dengan tuntutan yang relevan di masyarakat, berkembang lima bidang teori baru dalam ilmu keolahragaan. Kelima bidang teori yang menunjukkan kemajuan pesat itu meliputi sport information, sport politics, sport law, sport engineering, dan sport economy. Masing-masing terkait dan bahkan meminjam konsep, ilmu yang sudah mapan yakni information science, political science, law, engineering dan economic.
Sementara itu juga telah dikelompokkan bidang teori yang lebih spesifik yang menjadi jati diri ilmu keolahragaan, bertitik tolak dari wilayah spesifik yang meliputi faktor gerak (movement), bermain (play), pelatihan (training), dan pengajaran dalam olahraga (sport instruction). Dari ke lima wilayah spesifik ini lahirlah lima dimensi dari perspektif ilmu dan teori yakni movement science dan movement theory; play science dan play theory; training science dan training theory; dan instruction science of sport dan instruction theory of sport.
Dengan demikian semakin jelas gambaran tentang taksonomi ilmu keolahragaan yang dibangun berdasarkan sejumlah bidang teori. kecenderungan ini menunjukkan perkembangan ilmu keolahragaan ke arah spesialisasi dan fragmentasi.
Landasan Filosofis Pedagogi Olahraga
Pandangan dualisme Descartes yang memahami dikhotomi jiwa dari badan berpengaruh terhadap profesi di bidang keolahragaan, yakni raga dipandang samata-mata sebagai sebuah objek, yang diungkap dalam perumpamaan yang lazim dikenal yakni the body instrument”, “the body machine”, atau sekarang “the body computer”. Sebagai akibatnya maka sedemikian, menonjol pandangan yang mengutamakan aspek raga sehingga fisiologi dan anatomi menduduki posisi yang amat kuat dalam penyiapan tenaga guru pendidikan jasmani, dan pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah subjek yang penting bagi pembinaan fisik yang dipandang sebagai mesin.
Selanjutnya, konsep yang dikembangkan Maurice Merleau Ponty tentang “the body subject” dapat dipandang sebagai sebuah perubahan radikal pemikiran dualisme Cartesian. Inti dari pemikiran Ponty ialah bahwa manusia itu sendirilah yang secara sadar menggerakkan dirinya sehingga tubuh atau raga aktif sedemikian rupa untuk kontak dengan dunia sekitarnya. Ide tentang the body subject mengaskan kesatuan antara jiwa dan badan.
Berangkat dari konsep Ponty, Gordijn (Belanda) mengembangkan pandangan tentang gerak insani yakni gerak itu dipandang sebagai sebuah “dialog” antara seseorang yang bergerak dan lingkungan sekitar yang “mengundangnya” untuk bergerak. Pandangan ini menegaskan bahwa hubungan yang erat antara seseorang dan dunia sekitarnya merupakan sebuah persoalan yang mendasar Karena itu gerak manusia itu merupakan sebuah cara yang bermakna untuk berkiprah di lingkungan sekitar. Gerak manusia adalah perilaku
bermakna dalam penciptaan relasi dengan sekitar sehingga kesemua perilaku itu bukanlah produk dari reaksi mekanis terhadap stimulus, tetapi karena didorong maksud yang jelas, sesuai dengan “undangan” lingkungan sekitar. Secara sadar orang bermaksud untuk melempar, melompat, berenang atau tujuan lain, yang kemudian diwujudkan dalam perilaku gerak. Karena ada rintangan yang menghalangi perjalanan seseorang, maka ia dapat mengambil keputusan seperti melompati rintangan tersebut atau rintangan itu cukup dilangkahi, sesuai dengan bentuk rintangan atau ketinggiannya.
Konsep dasar  itulah yang melandasi pemahaman para pemangku profesi pendidikan jasmani dan olahraga bahwa pengalaman yang disediakan melalui kedua kegiatan yang tak terpisahkan itu sangat potensial untuk mendidik seseorang. Bahkan akhir-akhir ini, pihak PBB memposisi olahraga sebagai alat bagi pembangunan dan perdamaian; pendidikan jasmani dan olahraga merupakan “school of life” yang efektif.
Pandangan Gordijn tentang hakikat gerak manusia yang dikembangkan sekitar lebih dari 40 tahun yang lalu itu bersumber dari observasi dan interpretasi fenomenologis. Namun kemudian, konsep “ecological psychology” yang dikembangkan oleh J.J Gibson (pendiri psikologi ekologis) memperkuat pandangan Gordijn. Menurut teori yang dikembangkan Gibson, gerak manusia dijelaskan sebagai perubahan bermakna dalam relasi antara seseorang dan lingkungan sekitarnya.
Pendidikan Jasmani dan Pedagogi Olahraga
Meskipun rumusan lingkup unsur pedagogi olahraga (sport pedagogy) beragam  pada berbagai negara, karena terkait dengan perbedaan budaya, akar sejarah, dan standar metodologi, namun pada tingkat internasional, terdapat persamaan pemahaman yaitu pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah bidang studi (mata pelajaran) di sekolah, dan pedagogi olahraga dipandang sebagai sebuah subdisipIin iImu dalam kerangka iImu keolahragaan.
Di berbagai negara di seluruh dunia, perkembangan pendidikan jasmani dan pedagogi olahraga terkait dengan sejarah, yang mencerminkan perbedaan perkembangan secara nasional dan perbedaan konsep, seperti juga perbedaan teori dan paradigma. Meskipun perspektif sejarah tampak merupakan bagian terpadu dari semua Subdisiplin ilmu ke‑olahraggaan (misalnya, sport medicine, sport psychology), namun ada elemen sejarah yang amat khusus yang mengaitkan kedua subdisiplin ilmu keolahragaan, pedagogi olahraga, dari sejarah olahraga (sport history).

Elemen‑elemen sejarah yang menjadi cakupan kajian sejarawan olahraga dan ahli pedagogi olahraga, secara umum ditekankan pada:
• semua aktivitas jasmani dan olahraga yang dilakukan siswa di dalam dari di luar sekolah;
• dampak gerakan olimpiade modern terhadap pendidikan jasmani;
• kebijakan pendidikan suatu negara tentang penyelenggaraan pendidikan jasmani;
• perbedaan tipe program intra dan ekstrakurikuler;
• perubahan latar belakang falsafah dan ilmu sosial yang melandasi program dari tujuan pendidikan jasmani dan olahraga;
• Tujuan program studi dan lingkup mala kuliah lembaga pendidikan tenaga kependidikan (guru) dan perkembangan lembaga tersebut;
• sejarah perkembangan struktur kurikulum dan silabi;
• metode pengajaran, evaluasi dan pengukuran tradisional dari sebagian sudah terlupakan;
• bentuk-bentuk latihan terpilih, termasuk fasilitas, perlengkapan, dan lain-lain.
Seperti dikemukakan oleh para ahli lainnya (Pieron, Cheffers, dan Barette (1994; dalam Naul, 1994) pedagogi olahraga merupakan sebuah disiplin yang terpadu dalam struktur ilmu keolahragaan. Paradigma ini telah diadopsi di Indonesia dalam pengembangan pedagogi olahraga di FIK/ FPOK/JPOK dengan kedudukan bahwa pedagogi olahraga dianggap sebagai “induk” yang berpotensi untuk memadukan konsep/teori terkait dari relevan dari beberapa subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya terutama dalam konteks pembinaan dalam arti luas dan paradigma interdisiplin (Matveyev, dalam Rush Lutan, 1988) Pandangan ini tak berbeda dengan tradisi di Jerman yang menempatkan pedagogi olahraga dalam kedudukan sentral dalam struktur ilmu keolahragaan (Wasmund, 1973). Dalam model yang dikembangkan di Universitas Olahraga Moskow, pedagogi olahraga ditempatkan sebagai “pusat” yang berpotensi untuk memadukan beberapa subdisiplin ilmu dalam taksonomi ilmu keolahragaan, sementara para ahli meletakkan sport, medicine yang mencakup aspek keselamatan (safety) dan kesehatan sebagai landasan bagi pedagogi olahraga (Rush Lutan, 1998; dalam laporan hasil The Second Asia‑Pacific Congress of Sport and Physical, Education University President).
Widmer (1972) menjelaskan objek formal pedagogy olahraga yaitu “fenomena olahraga dari fenomena pendidikan, tatkala manusia dirangsang agar mampu berolahraga. Bagi Grupe & Kruger (1994), pedagogi olahraga mencakup dua hal utama: (1) tindakan pendidikan praktis dalam bermain dan olahraga, dan karena itu ada landasan teoretis bagi kegiatan olahraga yang mengandung maksud mendidik tersebut; dan (2) praktik yang dimaksud berbeda dengan praktik dan konsep lama dalam pendidikan jasmani yang mengutamakan latihan gaya militer dan drill di beberapa negara, khsusnya di Jerman; praktik baru itu disertai konsep teoretis pendidikan jasmani, kontrol terhadap badan, dan disiplin, yang menyatu dengan gerak fisik, ability, dan keterampilan di bawah pengendalianjiwa dan kemauan.
Lingkup kajian dan layanan pedagogi olahraga tidak terbatas di sekolah tetapi juga di luar sekolah, sehingga bukan hanya peduli terhadap anak-anak tetapi juga kepada semua lapisan khalayak sasaran, termasuk kelompok khusus dari orang cacat atau lainnya yang berpartisipasi untuk meningkatkan kondisi fisiologis, mental, atau psikososial. Dalam konteks keterpaduan antar subdisiplin, Wasmund (1972) menjelaskan kaitan antara pedagogi olahraga dan teori pelatihan yaitu pedagogi olahraga untuk menjawab “why” dan teori pelatihan (training theory) untuk menjawab “how”, sehingga interface antara keduanya adalah pada didaktik dan metodik.
Pedagogi olahraga di FPOK Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung misalnya, memanfaatkan filsafat olahraga (sport philosophy) dan sejarah olahraga (sport history) sebagai landasan pokok bagi pengembangan batang tubuh keilmuan pedagogi Pandangan ini, secara independen, pernah dikupas oleh Naul (1986; 1994) yang menyatakan bahwa “perspektif sejarah pedagogi olahraga berkaitan erat dengan sejarah olahraga untuk alasan metodologis.” Karena itu, perspektif sejarah merupakan elemen penting dari kajian pedagogi olahraga, seperti halnya pendidikan jasmani merupakan unsur penting dalam sejarah olahraga.
Memang kita jumpai masalah dalam memahami keterkaitan pedagogi olahraga dengan subdisiplin ilmu lainnya, terutama masalah metodologis yang menempatkan pedagogi olahraga sebagai induk bagi subdisiplin lainnya dalam ilmu ke‑olahragaan, yang sesungguhnya berakar pada sejarah. Di beberapa negara seperti di Perancis (Andrieu, 1990; Zoro, 199 1); McIntosh, 1968), Swedia (Lindorth, 1993), Belanda (Kramer & Lommen, 1987), dan Amerika Serikat (Bennet, 1972; Spears & Swanson, 1988), dijumpai keragaman aspek sejarah pendidikan jasmani yang muncul dalam penelitian sosiologis dan sejarah. Di negara ini, seperti di negara lainnya, pedagogi olahraga sebagai sebuah bidang kajian akademik tidak berkembang dalam konsep nasional ilmu keolahragaan mereka. Hal ini karena di Amerika, Kanada, Inggris, Perancis, dan negara-negara Eropa lainnya, konsep “physical education” atau “education physique,” masih dominan penggunaannya, ketimbang pengembangan pedagogi olahraga (Pieron keragaman Cheffers, 1988; dalam Naul, 1994).
Di Indonesia, baik dalam pengertian paradigma pengembangan keilmuannya maupun substansinya, pedagogi olahraga ini baru merupakan sebuah “embrio” dalam taksonomi ilmu keolahragaan. Lebih dari dua dasawarsa, setelah mengenal struktur dasar ilmu keolahragaan dalam International Workshop on Sport Science, 1975 di Bandung yang diikuti pimpinan dan dosen dari Sekolah Tinggi Olahraga se Indonesia dengan nara sumber ahli-ahli Jerman Barat (Prof. H. Haag, Prof. Nowacki, Dr. Jansen, dan Bodo Schmidt), Indonesia tenggelam dalam pencarian struktur ilmu keolahragaan, asyik dengan tema-tema diskusi olahraga kompetitif’. di sekitar feri-feri ilmu kepelatihan dari sport medicine.
Melalui pendekatan struktural, proses pencarian itu sampai pada tahap kesepakatan tentang sosok, tubuh ilmu keolahragaan, yang antara lain didorong oleh proses percepatan konversi IK113 menjadi universitas. Melalui seminar lokakarya tentang konsep ilmu keolahragaan yang di eclat di IKIP Surabaya (sebelum menjadi Universitas Negeri Surabaya) pada tahun 1998 yang lalu, berhasil diidentifikasi taksonomi ilmu keolahragaan. Hasil seminar nasional itulah yang kemudian melahirkan kurikulum program ilmu keolahragaan yang berorientasi pada kesehatan olahraga dengan bobot muatan sekitar 60% yang IPA. yang mulai dibuka pada tahun 1999, dan lebih signifikan lagi, setelah itu Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan diakui eksistensinya, termasuk ke dalam Komisi Disiplin Ilmu berdasarkan surat keputusan Dirjen Dikti yang diterbitkan pada tahun yang sama pula.
Sejak tahun 1980an perubahan memang banyak terjadi di tingkat internasional, terutama di Amerika Utara, yaitu para ilmuan bidang keolahragaan, mulai memperkenalkan “sport pedagogy” dengan alasan yang berbeda, dan mereka mulai menengok ke perspektif sejarah sistem pendidikan jasmani (]ini kurikulum pendidikan jasmani mereka sendiri (Siedentop, 1990). Di antara alasan yang dikemukakan Siedentop ialah dampak krisis ekonomi yang menyebabkan penyerapan lulusan program pendidikan jasmani yang amat rendah di pasar kerja (sekolah) sehingga melalui pengembangan pedagogi olahraga akan terbuka spektrum layanan jasa profesional di luar sekolah dan menyerap tenaga kerja.
Pedagogi olahraga bukanlah merupakan perluasan istilah pendidikan jasmani. Perkembangan pedagogi olahraga dalam paradigma interdisiplin intergratif didorong oleh kebutuhan secara akademik, yakni dari aspek metodologi, sebab pendekatan hermenetik dalam pendidikan jasmani sudah tidak memadai untuk mampu mengembangkan segi keilmuannya. Banyak ilmuan internasional sepaham bahwa istilah pedagogi olahraga berasal dari Jerman, tatkala latar belakang filsafat/hermentik dari “teori pendidikan jasmani” mengalami kemunduran pada akhir tahun 1960an, sehingga diganti dengan istilah pedagogi olahraga (Grupe, 1969; dalam Naul, 1994).
Namun informasi lainnya (misalnya Naul, 1994) menyebutkan bahwa istilah pedagogi olahraga itu tidak sepenuhnya benar berasal dari Jerman yang muncul pada tahun 196an, karena Pierre de Coubertin menulis buku Pedagogi Sportive pada tahun 1922. Gerakan Olimpiade sejak tahun 1898 hingga Perang Dunia 1. seperti juga buah fikiran yang tertuang dalam beberapa naskah dari artikel yang ditulis de Coubertin (Perancis) Gebbardt dan Diem (Jerman), dan Kemeny serta Guth Jarkowsky (Austria ungaria), sempat diabaikan oleh para pedagogi olahraga. Tulisan mereka tentang pendidikan olahraga menonjolkan pengembangan moral, kemauan untuk berolahraga, dan semangat Olimpiade, dan pokok fikiran itu sungguh sangat relevan dengan konsep dalam pedagogi olahraga. Para tokoh peletak dasar pedagogi olahraga ini berfikiran sama dengan para pendidik lainnya tentang hakikat dan gerakan pengembangan body and mind” di Amerika Serikat dan Jerman.
Sejarah pedagogi olahraga mencakup bukan hanya model Inggris yang menekankan etik Kristiani atau model semangat korps dalam olahraga pertandingan dan permainan yang  berpengaruh banyak terhadap reorganisasi pendidikan jasmani di sekolah Perancis, Denmark, Jerman, Swedia dan negara Eropa lainnya setelah tahun 1880an. Seperti juga pernah kita kenal di Indonesia, tiga tokoh besar yang tulisannya, sistem pendidikan jasmaninya, dan metode pengajarannya memperoleh pengakuan internasional di Eropa dan Amerika Utara pada abad ke 19 ialah:
• Guthsrnuths (I 7 93) dart Jerman yang berpengaruh di Denmark, Inggris, Swedia, Nederland, Belgia, Italia dan negara lainnya;
• Pestalozzi (1807) di Swedia, melalui Spies kemudian berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan jasmani di sekolah ekolah Jerman, dan Amoros dan Clias berpengaruh terhadap latihan fisik guru-guru dan militer pria di Perancis dan Inggris;
• Per Henrik Ling dan puteranya Hjalmar, bersama dengan para penerusnya Royal Central Institute of Gymnastic di Stockholm, mempengaruhi semua sistem nasional pendidikan jasmani di seluruh Eropa dan Amerika Utara dalam periode yang berbeda-beda, yang bermula pada abad ke 19.
Di berbagai negara, pendidikan jasmani dibentuk kembali setelah tahun 1900, khususnya tahun 1920an. Perkembangan ini didukung kuat oleh dokter olahraga yang dikenal di tingkat internasional yaitu Sargent (1906) di Amerika Serikat, dan Schmidt (1912) di Jerman. Kedua tokoh itu menganjurkan tipe latihan senam dan metode pengajaran yang tekanannya pada pembentukan (forming) fisik. Metoda alamiah menjadi populer di Denmark dan Swedia yang dipromosi oleh Torngren (1914), Knudsen (1915) dan Bukh (1923). Usaha mereka mendorong terjadinya reorganisasi pendidikan jasmani di negara‑negara Eropa. Di Perancis, metode alamiah (la methode naturelle) dikembangkan oleh Demeny dan Herbert, dan di Amerika Serikat, di kenal Thomas D. Wood dengan pembaharuan dalam senam, dan di Jerman, Erich Harte menjadi pendukung kuat aliran Austria “Gaulhofer dan Streicher” (1922) yang keduanya dipengarubi oleh senam Denmark dan Swedia. Tulisan dan hasil kuliah Gaulhofer dan Streicher membantu pelaksanaan reformasi pendidikan jasmani di Jerman, Belanda, Inggris, dan negara Eropa lainnya pada tahun 1920an dan 1930an (Grossing. 1991; Kramer membantu Lommen, 1987; McIntosh, 1968; dalam Naul. 1994).
Pada masa itu didirikan lembaga pendidikan tenaga guru bertaraf universitas dan diperkenalkan ke dalam dunia akademik yang tumbuh di beberapa negara di Eropa. Namun sekarang, di beberapa negara Eropa itu, masih terdapat perbedaan status akademik pendidikan jasmani dan pendidikan tenaga guru.
Pada tahun 1960an terjadi perubahan di beberapa negara. Kebugaran jasmani dianggap sebagai bagian penting dari tujuan pendidikan jasmani baik di Barat maupun di Timur, semacam kebangkitan kembali aliran Swedia yang menekankan kebugaran jasmani sebagai tujuan utama, manusia sebagai “mesin” yang harus dibina agar berfungsi dengan baik, sementara landasan ilmiahnya adalah biologi (lihat, Crum, 1994). Aspek performa menjadi bagian yang lebih penting karena berbagai alasan. Pada tahun 1970an, kebijakan pendidikan jasmani banyak diperbaharui oleh kebijakan negara bagian seperti di Negara negara Eropa.
Tahun 1970an merupakan puncak perkembangan pendidik ail jasmani dengan peningkatan yang amat dramatis, ditandai dengan perbaikan dalam fasilitas, peningkatan kualifikasi tenaga guru, dan pengalokasian jam pelajaran 3 jam per minggu, di samping pendidikan jasmani harian di SD, sementara di pendidikan tinggi diperkenalkan dari diorganisasi program pemeliharaan kesehatan.
Namun sejak tahun 1980an terjadi kemunduran pendidikan jasmani pada tingkat global karena pengaruh ekonomi, politik, dan perubahan pada pendidikan itu sendiri. Krisis pendidikan jasmani, seperti yang dimunculkan dalam kongres dunia di Berlin tahun 1999 1 terjadi tidak hanya pada tingkat nasional suatu negara seperti di AS, Australia, Inggris dan Jerman, namun menjadi persoalan akut di bekas negara blok sosialis (Foldesi, 1993; dalam Naul, 1994). Bahkan dalam paparan Ken Hardman pada konferensi internasional di Bangkok diungkapkan yakni tidak banyak perubahan atau kemajuan yang dicapai sebagai implementasi dari Deklarasi Berlin. Konferensi internasional bertema Sport and Education di Bangkok (2005) kembali mengetengahkan isu keterlaksanaan pendidikan jasmani, seperti dipaparkan oleh Ken Hardman, sampai pada kesimpulan yakni tidak banyak perubahan yang dicapai pada tataran praksis. Lahirnya Bangkok Agenda, sebagai “gong” dari konferensi bertujuan untuk mengakselerasi perubahan untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan jasmani, yang juga untuk tujuan yaitu peningkatan mutu pendidikan.
Rangkaian pembahasan tentang pemberdayaan pendidikan jasmani ini berlanjut dalam kongres internasional ke 46 ICHPERSD (International Council on Health, Physical Education, Recreation, Sport md Dance) di Istambul (2006) yang menghasilkan pemikiran tentang visi dan misi baru peindidikan iasmani, termasuk komponen-omponen pendidikan jasmani yang dipandang bermutu.

Lingkup Batang Tubuh Pedagogi Olahraga
Beberapa definisi tentang pedagogi olahraga, seperti dikembangkan di Eropa lebih merujuk kepada segenap upaya yang mengandung maksud dan tujuan yang bersifat mendidik, meskipun ada kecenderungan ke arah penyempitan makna semata mata menelaah proses pengajaran belaka, seperti misalnya dikatakan “sport pedagogy deal teaching rind learning of all age group … target group are individual with low level of performance,” atau ” sport pedagogy is constituted in the actors and actions of teaching and learning purposeful human movement. Dalam ungkapan yang Iebih umum dan luas disebutkan bahwa pedagogi olahraga adalah ” the science … which is concerned with the relationship between sport and education (misalnya dalam tulisan Grupe dari Kurz).
Definisi ini sangat membantu untuk memahami bahwa lingkup pedagogi olahraga banyak berurusan dengan segenap upaya yang bersifat mendidik yang sarat dengan misi dalam rangka proses pembudayaan, khususnya transformasi, nilai-nilai inti yang memang, jika disimak secara cermat, bahwa olahraga itu sangat kaya dengan potensi dan kesempatan dalam pembekalan kecakapan hidup. Tidak berlebihan, seperti telah disinggung pada awal naskah ini, bila mantan Sekjen PBB Kofi Anan sendiri menyebut olahraga itu sebagai “school of life” karena di dalamnya serba ada, sebuah gubahan kehidupan kemasyarakatan pada tingkat mikro. Misalnya, betapa kegiatan olahraga itu melibatkan dan sekaligus menggerakkan emosi dalam lakon hubungan antar orang, yang karenanya menjadi sebuah realita yakni manakala olahraga yang dibina dengan baik kegiatan itu akan menjadi sebuah adegan pergaulan yang efektif untuk membina pengendalian emosi atau memupuk kecerdasan emosional, bila kita meminjam konsep emotional intelligence yang dipopulerkan oleh Goleman akhir-akhir ini.
Tidak dipungkiri bahwa seluruh lakon gerak insani yang sadar dan bertujuan dalam konteks olahraga itu melibatkan sebuah mekanisme kerja sistem persarafan dalam sebuah koordinasi yang luar biasa cepat dan rapih, mekanisme persepsi dan aksi yang sinkron yang dibuahkan dalam bentuk pembuatan keputusan yang cepat, pemecahan masalah yang jitu selain kreativitas, seperti tampak dalarn peragaan para atlet tingkat tinggi (misalnya tampak dalam peragaan pemain profesional bola basket dan sepakbola). Unsur estetika melekat kuat di dalamnya dalam ujud irama dan tampilan yang anggun dan selaras untuk berekspresi (lihat misalnya dalam tampilan atlet figure skating). Pengembangan potensi sekaligus pembentukan jelas-jelas terjadi melalui semua adegan yang bersifat mendidik, dan dalam kaitan itu pula mengklaim bahwa pendidikan jasmani dan olahraga berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan yang bersifat menyeluruh sangat dapat dipertanggung jawabkan.
Bahwa proses ajar merupakan bagian dari keterjadian pendidikan jasmani dan olahraga, harus diakui, dan perubahan ]aku yang dimaksud memang terjadi melalui proses itu. Itulah sebabnya pada tataran praktis disyaratkan harus selalu terjadi proses transaksi antara guru dan peserta didik, yang berimplikasi pada pertanyaan, yakni apa sesungguhnya substansi yang disampaikan oleh guru kepada peserta didik, dan karena itu, pengetahuan apa yang terkandung dalam substansi yang disampaikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, Kritik keras masyarakat, terutama orang tua terhadap profesi pendidikan jasmani dan olahraga ialah bahwa hanya sedikit terjadi dan bahkan ada tuduhan sama sekaligus tidak berlangsung proses ajar. Telah terjadi proses pengerdilan tujuan pendidikan itu sendiri yang lebih bernuansa fisik keterampilan, dan itupun hanya tercapai sedikit sekali.
Komplikasi yang terjadi benar-benar pada tataran praktis, bukan teoretis yang berakibat fatal bagi turunnya wibawa para pemangku profesi itu. Sungguh tidak terelakkan bahwa kesenjangan antara harapan dan kenyataan memang telah terjadi dalam pencapaian tujuan pendidikan jasmani dan olahraga yang terkait dengan kelemahan dalam hal kejelasan landasan keilmuannya dan keterhubungan antara aspek teoretis dan praktis.
Untuk mengenal lingkup pengembangan batang tubuh pedagogi olahraga Pokok pikiran Lee Shulman (1987) tentang tujuh kategori pengetahuan, sangat membantu untuk menjawab persoalan, apa landasan keilmuan utama pendidikan jasmani dan olahraga. Di Amerika sendiri, seperti laporan Christensen, bahwa dalam proses belajar mengajar pendidikan jasmani dari olahraga ( 1996), ketujuh kategori ini digunakan sebagai sumber yang paling sering dipakai NCATE (National Council on Accreditation for Teacher Education) dalam melaksanakan akreditasi guru pendidikan jasmani. Kupasan singkat tentang wilayah kajian pedagogi olahraga ini juga pernah dipaparkan dalam ceramah Schempp (1993) yang berjudul The Nature of Knowledge in Sport Pedagogy.
Ketujuh kategori pengetahuan tersebut di atas sebagai berikut:
1. Content knowledge
2. General pedagogical knowledge
3. Pedagogical content knowledge
4. Curriculum knowledge
5. Knowledge of educational context
6. Knowledge of learners and their characteristics
7. Knowledge of educational goals
Ketujuh kategori pengetahuan yang melandasi sekaligus mendukung proses belajar mengajar pendidikan jasmani dari olahraga itu pada dasarnya dapat dipakai sebagai rujukan bagi pengembangan batang tubuh pedagogi olahraga. Ketujuh pengetahuan yang bersifat umum itu menunjukkan potensi pedagogi olahraga untuk mengintegrasikan pengetahuan dari subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya yang menjadi landasan teoretis penyelenggaraan pendidikan dalam konteks pendidikan jasmani dan olahraga pada umumnya. Menjadi lebih unik pengetahuan yang dimaksud karena ada tiga kategori pengetahuan yang mesti dikuasi oleh guru pendidikan jasmani. Kategori pertama, pengetahuan teoretis konseptual, kategori kedua pengetahuan tentang prosedur penerapan, dan kategori ketiga, penerapan pengetahuan yang bersifat situasional.
Content knowledge
Meskipun pendidikan jasmani itu merupakan proses sosialisasi melalui aktivitas jasmani, tetapi dalam setiap tugas ajar itu terkandung pengetahuan yang mesti dikuasai oleh peserta didik. Pengetahuan itu berkisar di seputar penguasaan konsep gerak, dan karenanya, apapun jenis substansinya permainan dan olahraga selalu diarahkan pada kemampuan Untuk memahami alasan-alasan di balik setiap tampilan. Karena substansi tugas ajar dalam kurikulum pendidikan jasmani di Indonesia umumnya berisi kecakapan dan/atau keterampilan berolahraga, tidak dapat dielakkan, begitu kuat dan sarat bobot pengetahuan berkenaan dengan cabang-cabang olahraga yang dianggap esensial, seperti atletik, senam, renang dan beberapa cabang olahraga permainan yang popular (misalnya, sepakbola, bola voli, bola basket, bulutangkis, dan lain-lain).
Para siswa atau atlet yang terampil biasanya menunjukkan kemampuan yang lebih tinggi dalam pemecahan masalah ketimbang para pemula. Hal ini berimplikasi pada pentingnya pengemasan substansi untuk lebih mudah dipahami, dan karena itu peranan Media seperti rekaman video sangat membantu para siswa untuk menguasai konsep gerak. Itulah sebabnya konsep perhatian (attention) banyak dibahas dalam teori belajar gerak, seperti halnya teori memori dan visualisasi. Betapa pentingnya penyampaian informasi konsep gerak, termasuk “kunci” pelaksanaannya sehingga pengetahuan itu menjadi lebih terstruktur yang menyebabkan persoalan yang menentukan bukan banyak sedikitnya informasi yang disampaikan, tetapi bagaimana membuatnya menjadi jelas Menurut persepsi para siswa atau peserta didik.
Saya menduga dalam  hal  itulah sebuah titik lemah dalam proses pengajaran, lebih-lebih proses pelatihan atau coaching olahraga prestasi tingkat tinggi, yang kebanyakan lebih tertuju pada peragaan keterampilan, tanpa pengarahan agar para siswa atau atlet, memahami alasan-alasan di balik semua tampilannya.
Tampaknya masih jarang dibahas, seperti di Indonesia berkenaan dengan sekuen atau tata urut substansi pengetahuan. Bagaimana menciptakan hubungan antara pengetahuan masa lalu dan pengetahuan baru menjadi sebuah isu bukan saja pada tataran akademik, tetapi lebih penting pada tataran praksis. Topik ini berkenaan dengan bagaimana guru atau pelatih mendorong siswa atau atletnya untuk berpikir pengalaman masa lalu dan pengetahuan baru yang berkaitan dengan tema-ema pembelajaran dalam pendidikan jasmani. Hal ini tentu ada pula kaitannya, penyesuaiannya dengan karakteristik peserta didik.
Ringkasnya, pengetahuan tentang saja isi ini saja berkenaan dengan subjek yang diajarkan, persepsi dan tanpa itu maka tidak ada pengajaran sehingga pengetahuan dan sekaligus kecakapan dalam konteks pendidikan jasmani yang mengandung isi pendidikan melalui aktivitas jasmani, perlu dikuasai oleh guru yang bersangkutan. Esensi dari substansinya ialah pengetahuan tentang gerak insani dalam konteks pendidikan yang terkait dengan semua aspek pengetahuan untuk memahami peserta didik secara utuh.
General pedagogical knowledge
Pengetahuan ini mencoba untuk menyingkap kaitan antara perilaku guru dan hasil belajar pada siswa. Cakupannya, meliputi:
• kemampuan umum dalam mengelola dan merencanakan unit pengajaran;
• pengelolaan dan pengorganisasian kelas;
• metode/teknik pengajaran; dan
• evaluasi persepsi penentuan (grading) nilai siswa.
Penelitian dalam kategori ini berkisar pada tema jurnlah waktu aktif belajar (Active Learning Time), pembuatan keputusan, efektivitas pengajaran dan manajemen kelas.
Pedagogical content knowledge
Pengetahuan ini berkenaan dengan bagaimana mengajar sebuah subjek atau topic bagi sekelompok peserta didik dalam konteks yang spesifik. Pengetahuan ini juga terkait dengan:
• tujuan pengajaran sebuah subjek pada tingkat kelas yang berbeda;
• konsepsi dan miskonsepsi siswa mengenai suatu subjek;
• material kurikulum suatu subjek;
• strategi pengajaran bagi sebuah topik.
Curriculum knowledge
Pada skala makro. pengetahuan ini berkaitan dengan tipe kurikulum dalam pendidikan Pengetahuan ini berkenaan dengan isi dari program yang berorientasi pada prinsip pertumbuhan dan perkembangan peserta didik jasmani, suatu bidang yang paling terbengkalai pengembangannya di Indonesia baik secara teoretis maupun praktis.
Diskusi dari pengembangan model kurikulum pendidikan jasmani di Indonesia masih sangat banyak memerlukan dukungan fakta empirik di lapangan. Karena itu perbincangan tentang kurikulum, yang kedudukannya amat strategis untuk pencapaian tujuan pendidikan membutuhkan banyak penelitian. Hanya sedikit pikiran kritis misalnya untuk mengkaji ulang implementasi model kurikulum pendidikan jasmani yang berorientasi pada “pelestarian kultur olahraga” dalam nuansa “sporting based approach” yang banyak dipengaruhi oleh para pendukung pengembangan olahraga elit‑kompetitif.
Dalam bentuk serpihan program tidak terstruktur program yang berbasis pada upaya peningkatan kebugaran jasmani di sana sini tampak diterapkan dengan munculnya aneka Senam Kebugaran Jasmani (SKJ) yang dalam banyak hal menyulitkan para guru dan siswa akibat struktur gerak atau tugas geraknya, sedemikian formal, tanpa dukungan riset untuk kemudian diadakan perubahan. Model kurikulum berbasis pengetahuan biologis ini yang dikenal dalam istilah ‘gerak badan” atau “taiso” semasa pendudukan Jepang, pernah diterapkan di Indonesia. Model pendidikan gerak yang sering dijumpai pada program SD, seperti saya lihat di Australia, masih jarang dikembangkan di Indonesia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengembangan kurikulum pendidikan jasmani di Indonesia merupakan wilayah pengembangan pengetahuan yang memerlukan prioritas, karena berpangkal dari model kurikulum itulah kemudian banyak muncul persoalan dalam penerapannya.
Knowledge of educational contexts
Semua program pendidikan jasmani berlangsung dalam konteks yang beragam. yakni yang dapat mempermulus atau iebalikiiya menghambat pelaksanaan pengajaran. Yang dimaksud dengan konteks atau tata latar adalah keseluruhan faktor yang mempengaruhi apa dan bagaimana isi diadakan dan dipelajari dalam sebuah program. Dalam lingkup yang lebih luas kita dapat mengamati betapa besar variasi dari perbedaan lingkungan lembaga pendidikan antara sekolah di perkotaan, pedesaan, atau yang terdapat di pesisir dan di daerah belantara, daerah‑daerah terpencil. Kebanyakan lingkungan semacam itu relatif stabil, tetap, dan arena itu hanya sedikit kemampuan guru untuk mengubahnya. Hal terbaik yang dapat dilakukannya ialah ia mesti dapat membiasakan diri menghadapi lingkungannya dan mampu memanfaatkan secara maksimal semua  potensi untuk mendukung pengajaran. Ini berarti bahwa faktor lingkungan ini tidak dengan sendirinya menjadi penghambat, dan bahkan program pendidikan jasmani itu berlangsung dalam konteks yang memungkinkan para guru untuk memperoleh pilihan yang banyak bagi pengajarannya.
Penjelasan ini mengingatkan guru pendidikan jasmani saya pada tahun 1962, yang memanfaatkan sebatang pohon karet di halaman sekolah, ketika kami menempuh pendidikan di SGA Kuala Kapuas. Salah satu tugas ajar yang tidak dapat saya lupakan ialah “memanjat pohon karet itu,” sebuah tugas yang memerlukan ketangkasan, kekuatan. dan bahkan keberanian.
Contoh pengalaman ini membenarkan pernyataan bahwa setiap sekolah memiliki karakteristik yang unik yang dapat memberikan peluang dan tantangan bagi guru pendidikan jasmani. Guru perlu memahaminya karena konteks situasi pengajaran mempengaruhi bagaimana guru mengembangkan, apa keterampilan yang mereka perlu kuasai, bagaimana pikiran mereka tentang keterampilan tersebut, dan apa yang mereka pikirkan tentang tujuan bagi program pendidikan jasmaninya.
Pengetahuan ini berkenaan dengan dampak lingkungan terhadap pengajaran, yang meliputi faktor lingkungan fisikal dan sosial di dalam dan di sekitar kelas, termasuk pengetahuan tentang kegiatan kerja dalam kelompok atau kelas, pembiayaan pendidikan, karakteristik masyarakat dan budaya. Dalam paparannya sebagai pemakalah kunci pada konferensi internasional AISEP di Lisbon baru-baru ini, Richard Tinning dari Queensland University mengangkat proposisinya tentang kelangsungan pendidikan jasmani dan olahraga yang berorientasi pada keragaman budaya dan ia mengeritik pandangan yang memahami pendidikan jasmani dan olahraga sebagai fenomena universal. Lebih rinci lagi, seperti dalam tulisan Metzler (2000), faktor konteks ini dipaparkan dalam lima faktor utama: (1) lokasi sekolah, (2) demografis siswa, (3) administrasi. (4) staf pelaksana pendidikan jasmani, dan (5) sumber-sumber belajar.
Faktor lokasi meliputi lingkungan perkotaan, pedesaan, dan pinggiran kota. Yang berpotensi untuk mempengaruhi pengajaran seperti luas sempitnya pekarangan atau lapangan yang tersedia, keterjangkauan sekolah yang terkait dengan transportasi, dan faktor keamanan. Termasuk faktor yang lebih pelik ialah keadaan iklim, seperti sekolah-sekolah di bagian Indonesia Timur yang banyak diterpa oleh sinar terik matahari sehingga keadaan ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pengajaran di daerah terbuka. Itulah sebabnya, seperti sekolah-sekolah di kota Brisbane, negara bagian Queensland, Australia, para siswanya diharuskan memakai topi ketika mengikuti pendidikan jasmani untuk mengurangi sengatan sinar matahari selain mesti membawa minuman untuk mengatasi kehilangan cairan tubuh.
Knowledge of learners and their characteristics
Pengetahuan ini berkenaan dengan proses ajar manusia dan penerapannya dalam pengajaran pendidikan jasmani dan olahraga. Terliput di dalamnya pemahaman tentang karakteristik siswa yang amat beragam dari aspek kognitif. emosi, sosial, dan faktor sejarah dan budaya. Pemahaman tentang peserta didik berkenaan dengan pengetahuan tentang pertumbuhan dan perkembangan, learning capacity, perbedaan bahasa, dan kondisi psikososial yang mempengaruhi sikap dan aspirasi siswa dalam belajar.
Banyak uraian kita jumpai tentang prinsip Developmentally Appropriate Practice (DAP) dalam pengertian penyesuaian substansi, sekaligus metode dan strategi dengan karakteristik siswa atau peserta didik. Prinsip ini mongukuhkan asas pengajaran yang berpusat Pada Siswa, dan pemahaman tentang pertumbuhan dan perkembangannya amat menentukan dalam penyusunan perencanaan, dan menjadi titik awal dalam hill pemahaman mengenai kebutuhan dan kemampuan siswa.
Sudah lazim kita pahami tentang konsep perkembangan Kognitif, dan betapa penting bagi guru Untuk memahami proses kognitif karena mempengaruhi belajar Tahap‑tahap perkembangan kognitif yang diteorikan oleh Piaget, yakni (1) sensorimotor, (2) pre operational, (3) concret operationals, dan (4) formal operations, banyak mempengaruhi kurikulum pendidikan jasmani dewasa ini.
Perkernbanggan gerak yang menunjukkan fase penguasaan keterampilan di sepanjang hayat juga merupakan titik awal bagi pengembangan model pengajaran. Wilayah binaan yang tak kalah pentingnya ialah domain afektif yang di Indonesia, karena pengajaran didikte oleh sistem evaluasi yang serba terukur menyebabkan bagaimana membina perkembangan afektif ‘ini menjadi kurang sistematik. jika bukan disebut hanya sebagai dampak pengiring. Betapa pentingnya kecakapan hidup berupa pengendalian diri yang bertumpu pada pengendalian emosi, sama halnya kemampuan memotivasi diri disertai dengan ketekunan yang menjadi landasan bagi pencapaian prestasi dalam bidang apa saja, yang sesuai dengan bakat seseorang.
Adegan‑adegan dalam permainan atau pelaksanaan tugas ajar dalam konteks pengajaran pendidikan jasmani, sungguh menyediakan banyak kesempatan bagi pengembangan domain afektif ini. Kejujuran dan tanggung jawab misaInya banyak sekali dijumpai dalam peristiwa permainan dan peragaan ketangkasan, dan peluang ini sia-sia belaka jika tidak dimanfaatkan sebaik mungkin.
Teori pemrosesan informasi dan penyimpanannya misalnya telah mencoba untuk mengkaji persoalan ini dalam konteks penguasaan keterampilan gerak. Upaya ini sangat bermanfaat untuk memahami proses kognitif yang melandasi kemampuan seseorang untuk belajar dan memecahkan masalah. Pengetahuan ini disebut “metacognition ” (pengetahuan tentang proses kognitif yang dimiliki seseorang).
Pengalaman menunjukkan bahwa kunci-kunci pelaksanaan tugas gerak yang disampaikan oleh guru atau pelatih tidak lebih dari sebuah rambu-rambu ) ang memudahkan siswa atau atlet untuk mengingat konsepnya, tetapi dalam pelaksanaannya, terutama keputusan-keputusan yang bersifat situasional adalah tergantung pada siswa atau atlet itu sendiri. Fenomena ini tampak misalnya dalam pelaksanaan tugas gerak yang tergolong “keterampilan terbuka” atau open skill. dalam keadaan, pangaruh faktor lingkungan sangat dominan sehingga seseorang dihadapkan dengan tantangan untuk memecahkan masalah sendiri.
Seperti sudah disinggung di muka perbincangan tentang pentingnya faktor perhatian dan fenomena arousal atau bangkit yang Mempengaruhi kinerja seseorang Tema ini tak kalah menariknya dengan tema penyimpanan informasi jangka pendek dan jangka panjang, penyimpanan perbendaharaan gerak dalam pusat memori Yang kemudian siap untuk dipanggil kembali.
Teori motivasi, termasuk jenisnya (intrinsik dan ekstrinsik) tidak kalah menariknya, sama halnya dengan persoalan “transfer of learning”, bagaimana suatu kecakapan dam mempengaruhi penguasaan kecakapan baru lainnya dalam bentuk nilai alihan positif manakala kecakapan lama mendukung atau memperkuat perolehan kecakapan baru, atau bersifat negatif, bila efeknya sebaliknya.
Berkaitan dengan persoalan ini dalam konteks pendidikan jasmani, lebih-lebih dalam olahraga kompetitif tingkat tinggi sangat dibutuhkan fleksibilitas kognitif, yakni kecakapan untuk mengevaluasi suatu masalah dari beberapa sudut pandang, dan kemudian melihat beberapa kemungkinan interpretasinya.
Pengungkapan pemahaman tentang peserta didik ini, seperti halnya di Indonesia memerlukan upaya yang lebih banyak melalui penelitian. Beberapa contoh penelitian diluar negeri berkenaan dengan karakteristik siswa:
• Pengaruh aktivitas jasmani terhadap self esteem (Gruber, 1985)
• Pertumbuhan dan perkembangan (Broekhoff, 1985)
• Perkembangan sosial (Sage,1985)
• Kognisi siswa (Amelia Lee, dkk (1992)
Knowledge of educational goals
Pengetahuan ini berkenaan dengan tujuan, maksud dan struktur sistem pendidikan nasional. Apa yang diharapkan guru pada siswa untuk dipelajari di kelas, sehaluan dengan cita-cita pembangunan nasional. Pembelajaran berlangsung untuk mencapai tujuan dalam keadaan peserta didik memiliki kebebasan untuk semua terlibat, bertanggung jawab dan menikmati iklim kemerdekaan untuk menyelidik, menemukan, mengembangkan dan memahami keterampilan, menghayati nilai-nilai yang dibutuhkan bagi pengembangan sebuah masyarakat madani (civil society) yang adil. Penelitiannya terkait dengan riset dalam kurikulum studi tentang orientasi nilai (misalnya, Ennis, 1992), hidden curriculum (misalnya, Bain (1989); tujuan & nilai pendidikan (misalnya, Hellison, 1993)
Paradigma Penelitian
Paradigma positivistik
Seperti lazimnya disiplin ilmu keolahragaan yang masih muda usianya, maka penelitian dalam pedagogi olahraga mengadopsi paradigma penelitian yang sudah mapan yakni paradigma positivistik dan pasca positivistik‑ Pendekatan positivistik menempatkan proses belajar dan mengajar sebagai “objek” riset yang “diobjektifkan” sehingga sangat kentara. penerapan prosedur analitis yang mengandalkan data empirik dalam ujud data kuantitatif yang mengandalkan instrumen untuk memperoleh data yang dianggap sahih, reliable dan objektif pula. Pengembangan aneka bentuk tes pada tahun 1970an yang masuk ke Indonesia dalam pendidikan jasmani merupakan buku bahwa paradigma positivistik ini sangat dominan dengan berbagai masalah pedagogik yang muncul, yang mempengaruhi iklim belajar yakni proses dipengaruhi oleh prosedur pengetesan, seperti yang dialami oleh STO Bandung pada tahun-tahun tersebut, bahkan masih melekat hingga sekarang ini, terutama untuk mengukur hasiI belajar.
Penerapan paradigma analisis empiris dalam pedagogi olahraga juga selalu berangkat dari panduan teori untuk menuntun hipotesis yang selanjutnya memberi arah pada pengungkapan data yang relevan untuk menguji hipotesis.
paradigma pasca positivistik
Dalam konteks pendidikan jasmani dan olahraga, sangat disadari bahwa fenomena gerak insani itu dipahami tidak lepas dari makna sosial budaya yang menjadi lanskap pengembangannya, dan bahkan kepercayaan suatu masyarakat, seperti tampak Pada permainan atau olahraga tradisional, sama sekali tak dapat diabaikan. Itulah sebab% a dari waktu ke waktu kita dapat menyimak perubahan definisi olahraga (sport) itu sendiri yang bergeser sesuai dengan persepsi masyarakat, dan di lain pihak, lingkungan beserta nilai di sekitarnya, ikut membentuk isi kegiatan olahraga itu sendiri.
Dalam kaitan itu maka tak dapat dielak bahwa konteks sosial dan asumsi yang melandasi yang melandasi proses belajar mengajar tidak dapat diabaikan yang selanjutnya melandasi pengetahuan dan tindakan guru dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar. Karena itu proses transaksi dalam mengajar‑belajar tak dapat dipahami semata-mata sebagai hubungan timbal balik antara stimulus/respon secara mekanistik karena ada unsur penyela yang bersumber dari berbagai faktor baik pada guru ini sendiri Maupun pada peserta didik. Selain itu, Pengungkapan fakta dalam konteks pendidikan jasmani dan olahraga sangat dipahami, baru sampai pada “penghampiran” belaka, seperti misalnya, betapa besar “kekuatan otot” seseorang dalam konsep strength misalnya, meskipun kini banyak instrument yang dianggap akurat dan canggih.
Dengan demikian paradigma pasca positivistik makin banyak dan mulai sering diterapkan dalam pengembangan pedagogi olahraga terutama untuk mengkaji proses pembelajaran.
Kesimpulan
Pedagogi olahraga (sport pedagogy) adalah sebuah disiplin ilmu keolahraga yang masih muda usianya dengan kedudukan sangat berpotensi untuk mengintegrasikan subdisiplin iImu keolahragaan lainnya untuk mendukung pemahaman bagi kelangsungan proses pembelajaran atau tindakan yang bersifat mendidik. Proses pembelajaran itu melibatkan keterjadian transaksi antara guru dan peserta didik, dan dalam proses itu penguasaan 7 kategori pengetahuan menjadi amat penting yang dipandang sebagai batang tubuh pengetahuan pedagogi olahraga. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pendidikan jasmani, pengembangan model‑model pengajaran berlandaskan pada batang tubuh pengetahuan tersebut.
Untuk penyelenggaraan pengajaran yang berhasil dalam pendidikan jasmani dan olahraga, ketujuh kategori pengetahuan itu tidak saja dapat diungkapkan kembali oleh guru yang bersangkutan, tetapi pengetahuan itu harus sampai pada tataran penerapan Pada waktu sebelum, selama dan setelah pengajaran berlangsung. Lebih rumit lagi karena pengetahuan itu harus dapat diselaraskan dengan kondisi pengajaran yang berubah‑ubah yang amat spesifik pada setiap saat.
Pengembangan pedagogi olahraga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan mutu pendidikan jasmani dan olahraga khususnya di lingkungan lembaga pendidikan formal dan non‑formal, Karena itu, penelitian untuk mengembangkan batang tubuh pedagogi olahraga di sekitar 7 kategori pengetahuan sangat diperlukan dengan menerapkan paradigm penelitian yang sesuai dengan topik masalahnya. Tradisi penggunaan analisis secara empiric masih populer, meskipun pendekatan kualitatif kian menunjukkan peningkatan dalam penerapannya sekitar dua dasawarsa, meskipun masih amat terbatas di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
• Annarino, Anthony A. (1980). Curriculum Theory and Design in physical Education, St, Louis. Missouri: The C.V. Mosby
• Coakley, Jay (2000). Sport in Society: Issues and Controversies, Singapore: McGrawHill Book Co.
• Gutek, Gerald L. (2004). Philosophical and Ideological Voices in Education. Boston: Pearson.
• Hammond, Linda Darling and Bransford, John (ed,) (2005). Preparing Teachers for a Changing World. San Fransisco: Jossey‑Bass.
• Huzinga, Johan (1950). Homo Ludens. A study of the Play Element in Culture. Boston: The Beacon Press.
• Hyland, Drew A (1990). Philosophy of Sport. New York: Paragon House.
• Lutan, Rush (1999). Manusia dan Olahraga. Bandung: ITB
• Lutan, Rush (1999). Reinterpretasi Hasil Kongres: World Summit on Physical Education at Berlin, September, 1999. Unpublished manuscript.
• Lutan, Rush (2005). Indonesia and Asian Games: Sport, Nationalisms and the New Order in Sport in Society, Vol. 8, No. 3, September 2005
• Maguire, Joseph (et.al), Sport World: A Sociological Perspective. (Champaign, III! Human Kinetics, 2002)
• Metzler, Michael W. (2000). Instructional Models for Physical Education. Boston: Allyn and Bcon.
• Schemppp, P.G. (1993, July). The Nature of Knowledge in Sport Pedagogy. JoseMaria Cagigal Memorial Lecture, presented at the 199′ World University Games, Buffalo, NY. http://cilab.myweb.uga.edu/cinature.htm
• Siedentop, Daryl (1991). Developing Teaching Skills in Physical Education Califonnia: Mayfield Publishing Company.
• Sic, Swan Po (1973) Prosiding Kongres Internasional ICHPERSD ke‑16, Denpasar, Bali, Indonesia, 29 July‑3 August. Jakarta: KONI Pusat
• Tinning, Richard. et.al. (2001). Becoming A Physical Education Teacher. French Forest: Prentice Hall.
0 Komentar untuk "PEDAGOGIK OLAHRAGA (Rusli Lutan)"

Back To Top